(Foto: Merryriana.com)
Liputan6.com, Jakarta
- Muda, cantik dan
energik, itulah kesan yang timbul pertama kali melihat Merry Riana. Siapa yang
tidak mengenal sosoknya? Namanya melejit di dunia internasional berkat
kesuksesan meraup penghasilan satu juta dolar Amerika Serikat (AS) di usia 26
tahun.
Miliarder muda asal
Jakarta ini begitu semangat saat berbagi cerita di hadapan ribuan orang tentang
lika liku hidup di negeri tetangga hingga dapat mencapai puncak ketenaran
seperti sekarang.
Merry, nama panggilan
akrabnya, mengaku sangat bersyukur bisa mendulang keberhasilan di usia muda
dengan uang satu juta dolar AS di tangan. Namun di balik itu semua, terselip
kisah pahit yang sampai saat ini membekas di hati dan menjadi pengalaman paling
berharga dalam menggapai kesuksesan.
"Saya tidak
pernah menyangka bisa mendapat julukan wanita sejuta dolar. Banyak orang
berasumsi bahwa saya dapat mengantongi satu juta dolar di usia 26 tahun karena
keluarga yang kaya. Itu salah, karena saya bukan dari keluarga konglomerat,
menikah dengan anak konglomerat atau menikah dengan konglomeratnya," urai
dia saat ditemui di Djakarta Theater, Minggu (1/6/2014) malam.
Merry justru tinggal
dan dibesarkan dalam sebuah keprihatinan. Berasal dari keluarga sederhana
dengan kondisi keuangan pas-pasan, tak pernah terbersit sedikitpun dalam
benaknya untuk melanjutkan sekolah di Singapura. Namun inilah titik awal dari
perjalanan panjang Merry.
Memutar memori 16
tahun lalu, tepatnya di Mei 1998, Merry bercerita bahwa keluarganya terpaksa
mengamankan dirinya dari peristiwa kerusuhan dan krisis moneter (krismon) yang
melanda Indonesia. Saat itu, usianya baru menginjak 18 tahun dan berniat
mengecap bangku kuliah di Universitas Trisakti, kampus di mana sang Ayah pernah
mengajar.
"Karena orang tua
khawatir, terutama soal pendidikan anaknya, maka mereka mengirim saya ke
Singapura. Tidak pernah saya membayangkan bisa sekolah di luar negeri, karena
tinggal saja di Tanjung Priok dekat Pasar Ular Plumpang yang keadaannya
pas-pasan," terang dia.
Di Singapura,
lanjutnya, dia harus kuliah dengan bantuan utang dari pemerintah setempat. Pada
saat itu, pemerintah Singapura memberi uluran bantuan kepada beberapa pelajar
di Jakarta yang memiliki prestasi cukup baik.
"Utang saya untuk
biaya kuliah mencapai lebih dari 4.000 Dolar Singapura atau setara dengan lebih
dari Rp 400 juta. Tapi itulah yang saya hargai dari perjuangan orang tua,"
ucap dia.
Akhirnya dengan
pinjaman tersebut, kata Merry, dirinya lolos dan diterima di Nanyang
Technological University (NTU), Singapura. Kampus yang begitu megah dan indah.
Namun sayang, Merry harus merasakan hidup serba kekurangan di negeri orang.
Mahasiswi ini harus bertahan dengan uang 10 Dolar Singapura atau Rp 90 ribu
setiap minggunya.
"Di Singapura cuma
hidup dengan uang Rp 90 ribu, makanya kadang puasa makan atau makan pakai mie
instan selama bertahun-tahun. Kuliah bawa bekal sepotong roti tawar dan itupun
makannya di toilet biar nggak ada satupun yang lihat," ujarnya.
Di tengah perjalanan
hidupnya, dia mengaku sempat marah dan kecewa pada Tuhan. Merry harus
menghadapi cobaan yang bertubi-tubi seorang diri tanpa keluarga di sampingnya.
Beruntung, keputusasaan itu hanya sesaat. Dia akhirnya mampu bangkit dengan
tiga hal yang menjadi kekuatan Merry untuk lepas dari kondisi tersebut.
1. Vision atau berani
bermimpi besar
Mimpi besar untuk
mengubah hidup muncul saat Merry berusia 20 tahun. Saat itu hatinya seolah
ingin mendobrak segala hambatan di depan.
"Saya sudah bosan
hidup susah, saya harus bisa berubah. Saya berhenti menyalahkan keadaan dan
bermimpi sebelum usia 30 tahun, saya harus sudah punya kebebasan finansial,
membayar utang, membahagiakan orang tua dan saat kembali ke Indonesia harus
jadi orang sukses," harap dia.
2. Action
Mimpi menjadi kekuatan
besar supaya setiap orang berjuang demi mewujudkan mimpi tersebut. Dengan bekal
keyakinan hati, Merry melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil yang banyak
diremehkan orang lain. Dia pernah melakoni pekerjaan sebagai pembagi brosur,
penjual bunga.
"Disitulah kita
diuji dengan celaan dan remehan. Tapi saya tetap berjiwa besar, hingga akhirnya
memberanikan diri memulai usaha di jasa keuangan dan berjualan di halte bus,
stasiun MRT. Saya bekerja 14 jam selama tujuh hari non stop," terang
Merry.
3. Passion
Pekerjaan yang
dilakukan dengan cinta dan sungguh-sungguh, maka akan berbuah manis. Inilah
yang membawa Merry mengecap kesuksesan sebagai salah seorang miliarder.
"Dan setelah 16 tahun saya di Singapura, saya memutuskan untuk menetap
kembali di Indonesia berbagi ilmu karena itulah yang akan membuat hidup lebih
berarti," tutup Merry yang kini aktif sebagai motivator
Tidak ada komentar:
Posting Komentar